Setelah kedatangan Ichsan Qaf dan tim yang bertugas mewakili keluarga Qaf, aku dan Fernando menyertai mereka untuk bernegosiasi dengan pihak Museum Louvre. Kami melakukan negosiasi yang cukup alot dengan Museum Louvre, Paris. Akhirnya pihak Museum Louvre mau mengembalikan manuskrip kuno itu kepada Keluarga Qaf, setelah Ichsan Qaf menunjukkan bukti-bukti yang kuat tentang kepemilikan benda bersejarah itu. Akhirnya manuskrip itu diakui secara resmi oleh Museum Louvre sebagai milik Museum Keluarga Qaf di Indonesia.
Mengenai Fernando, setelah mengikuti semua data yang dibeberkan oleh Ichsan Qaf didepan pihak Museum Louvre, akhirnya dia mengerti, bahwa manuskrip yang dia pinjam dari pamannya, ternyata bukanlah milik pamannya, Mr. Anka. Fernando lalu menghubungi pamannya di Turki. Untungnya Mr. Anka, pamannya Fernando tersebut, sangat mengerti penjelasan yang diberikan Fernando, dan dia rela, jika manuskrip itu dikembalikan ke Indonesia. Setelah semua urusan selesai, Ichsan Qaf dan timnya yang datang dengan pesawat pribadi,langsung mempersiapkan kepulangan mereka ke Indonesia. Aku memimpikan jika aku mempunyai sebuah pesawat pribadi, pasti akan seru! Bisa keliling dunia, mengajak Ahmad, mengajak kedua orang tuaku… Sudahlah, itu hanyalah sebuah mimpi. Oiya Pak Malik dan Diana juga dibawa oleh tim Ichsan Qaf ,setelah keduanya sempat diamankan di kepolisian Paris. Ini untuk menyelesaikan urusan hukum di Indonesia, kata Pak Ichsan Qaf.
Aku sendiri, memutuskan untuk pulang ke Indonesia dua hari kemudian. Sementara Fernando memutuskan untuk tinggal lebih lama di Paris. Aku dan Fernando kemudian menyempatkan diri untuk berjalan-jalan menikmati Kota Paris yang memang sangat indah.
Tibalah hari keberangkatanku, kembali ke Indonesia. Karena semalam kami pulang cukup larut, rupanya Fernando yang menginap di sebelah kamarku, ketiduran. Setelah merapikan semua barang bawaanku, aku berniat pamit padanya.
“Fer…, Fernando,” aku memanggilnya sambil mengetuk pintu kamar Fernando.
“Iya bentar… Aduh..Eh..BRAAK…,”sepertinya Fernando jatuh terantuk sesuatu. Aku heran, ada apa dengannya, sepertinya barang-barang yang ada di kamarnya berjatuhan. Setelah menunggu sekitar 5 menit, akhirnya Fernando membuka pintu kamarnya.
“Ada apa sih Aji, pagi-pagi sudah membangunkanku…,” tanya Fernando dengan perasaan sebal, mungkin karena kakinya yang sakit habis terjatuh tadi. Rupanya dia lupa, hari ini hari keberangkatanku.“Ngga, aku cuma mau kasih tau, aku mau berangkat pulang ke Indonesia sekarang. Kamu mau ikut gak ke bandara?” aku bertanya.
“Ikut lah, masa nggak…, bentar aku siap-siap dulu,” jawab Fernando dengan bersemangat. Ia langsung mempersiapkan dan membereskan kamarnya terburu-buru. “BRAAK…,” tiba-tiba terdengar lagi suara barang terjatuh kembali. Fernando memang sedikit berantakan orangnya. Pasti dia menabrak barang-barang yang tidak dia rapikan.
Kami pergi bersama-sama menuju Bandara Paris Charles de Gaulle menaiki taksi bandara. Kami melewati Menara Eiffel serta beberapa bangunan bersejarah lainnya yang berada di Paris.“Thank you very much…,” aku mengucapkan terima kasih kepada sopir taksi yang membantu Aku menurunkan barang-barang yang berada dibagasi taksi. Aku memberinya tips, karena ia cukup ramah selama berada di perjalanan menuju bandara ini. Setelah memasuki bandara ini, aku dan Fernando berpelukan, aku berpesan kepadanya, jika ingin bertemu aku, temui aku di Indonesia. Sungguh terharu harus berpisah dengan Fernando, karena dia telah banyak membantuku. Ia pun juga berpesan untuk jangan melupakan dirinya. Fernando memberikan baju bertuliskan I love Mexico dengan lambang hati berwarna merah ditengahnya. Ternyata dia masih sempat membawa cenderamata negerinya, meskipun kami sudah terbang ke banyak negara.
“Terima kasih banyak, Fernando, untuk membantu aku menemukan manuskrip itu…,” aku mengucapkan terima kasih kepada Fernando.
“Dan terima kasih juga Aji, kamu telahmembawa aku pergi ke banyak negara…,” ujarnya sambil memelukku untuk yang terakhir kalinya.
Tak lama kemudian, petugas bandara memberitahu bahwa check-in pesawatku telah dibuka. Aku segera merapihkan mantelku dan membawa peralatanku lantas pergi ke area check-in pesawat. Aku benar-benar berpisah dengan Fernando di Bandara Paris Charles de Gaulle Airport. Sebelumnya Keluarga Qaf telah memberitahuku bahwa aku diminta untuk menaiki pesawat komersial lain, sebab pesawat pribadi yang dimiliki oleh Keluarga Qaf sudah penuh.
—
“Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan memasuki Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pasanglah sabuk pengaman untuk keselamatan anda saat pesawat mendarat…,”pramugari pesawat menghimbau untuk memasang sabuk pengaman. Aku segera memasangnya, serta membuka penutup jendela pesawat, agar cahaya bisa masuk. Dari jendela pesawat aku sudah bisa melihat gedung-gedung yang ada di bawah, semua terlihat seperti semut kecil.
Akhirnya pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Seperti biasa, aku mengantri untuk mengambil bagasiku, dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiba-tiba teleponku berdering. Ternyata yang menelepon adalah Keluarga Qaf. Mereka telah sampai di Samarinda lebih dulu. Aku diberitahu oleh pihak Keluarga Qaf untuk menemui mereka segera di Samarinda. Aku menginap semalam di Jakarta karena jetlag.
Keesokan harinya aku kembali mencari tiket pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng(CGK) menuju Bandara Sultan Aji Mahmud Sulaiman Sepinggan (BPN). Lagi-lagi terjadi delay, karena masalah cuaca. Walau begitu, aku tetap sabar, karena yang penting aku sampai di Bandara Sepinggan. Setelah sampai di Bandara Sultan Aji Mahmud Sulaiman Sepinggan, aku mengambil bagasiku lantas menaiki bus menuju Samarinda.
Perjalananku menuju Samarinda lumayan jauh, membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam jika kendaraan itu ngebut. Bus yang aku naiki jalannya cepat, meskipun begitu tetap saja terasa lambat, karena jalan Balikpapan menuju Samarinda berlika-liku dan naik-turun melintasibukit dan lembah. Tidak seperti jalan antar kota di Pulau Jawa yang cenderung lurus.
Sesampainya di rumah Keluarga Qaf, sudah banyak pihak yang menunggu kehadiranku. Banyak media massa dimana-mana. Sampai-sampai aku merasa seperti menjadi orangterkenal. Media massa tersebut diusir oleh bodyguard, bahkan aku merasa aku memiliki bodyguard tersebut. Tak lama kemudian, sampailah aku pada ruang tamu rumah Keluarga Qaf, aku disambut oleh Bapak Ichsan Qaf untuk masuk ke rumahnya, lantas para bodyguardnya menutupkan pintunya yang berukuran sangat besar.Setelah berada didalam rumahnya yang megah ini aku dipersilahkan untuk duduk disebuah sofa yang empuk. Lantas Bapak Ichsan Qaf memulai pembicaraan. Pelayannya sibuk menyiapkan sajian teh dan biskuit untuk camilannya. “Terima kasih telah membantu untuk mencari manuskrip kuno yang hilang dari museum keluarga kami.
“Kami sangat mengapresiasi pekerjaan kamu, Ji. Karena bantuanmu, akhirnya kami bisa tetap menjaganama baik dan warisan keluarga kami. Baiklah, mulai saat ini, jika Aji ingin masuk ke museum kami, maka bisa masuk gratis, tidak perlu membayar tiket.” Kami tertawa setelah mendengar hal tersebut. Ternyata lucu juga Bapak Ichsan Qaf ini, aku kira ia galak soalnya penampilannya agak-agak kasar.
“Terimalah ini. Aji patut untuk diberi penghargaan dan hadiah.” Bapak Ichsan Qaf memberiku sebuah piagam penghargaan yang dilapisi warna-warna emas. Selain itu, secara pribadi Bapak Ichsan Qaf juga menyerahkan hadiah selembar cek, yang nilainya menurutku cukup besar.
Beberapa hari kemudian, aku dimintai keterangan oleh pihak berwajib, untuk kasus hilangnya manuskrip kuno keluarga Qaf. Aku diminta menceritakan semua kejadian yang kualami selama perjalananku mencari manuskrip itu di tujuh kota dari tujuh negara.Aku juga dipromosikan oleh Pak Mahmud, bosku di biro penyelidik sebagai salah satu detektif profesional, serta diberi penghargaan sebagaidetektif terbaik tahun ini. Aku sangat senang.
Telah sebulan waktu berlalu…
“Ahmad, ayuk ke Museum Keluarga Qaflagi…,” aku mengajaknya pergi ke museum.
“Ah, males ah, nanti kayak waktu itu lagi. Kitangeliat manuskrip hilang, terus besoknya kamu dipanggil, dan kamu kemudian dapat tugas yangberat.
“Maaf ya, untuk waktu itu. Yaudah, gini aja, kamu aku bayarin, plus makan siangnya juga,” aku mencoba membujuknya.
“Kenapa kamu nggak bilang dari tadi! Kalo begitu hayuk pergi, cepetan!” Ahmad langsung bersemangat, karena diajak makan gratis. Dasar Ahmad, harus dibayarin dulu baru mau kalo gak,paling bilangnya males ah, ngantuk ah dansebagainya.Aku dan Ahmad berangkat menuju museum.
Aku mengajak Ahmad ke satu bagian yang palingkutunggu-tunggu, bagian manuskrip. Akumengajaknya untuk melihat manuskrip kuno yangaku temukan.“Ini bener Ji, kamu yang nemuin?” Kata Ahmad dengan wajah keheranan, mengetahui akuyang menemukan manuskrip itu.“Iyalah, masa tukang sampah…,” Aku menyombongkan diri.
“Hebat banget kamu Ji!” ia langsung menepuk-nepuk punggungku sambil berkata“Kamu memang abang terbaikku!”
Aku kembali melanjutkan perjalananku bersama dengan Ahmad. Sekeluarnya kami dari museum tiba-tiba ia bilang, waktunya makan siang. Raut wajahku berkata “Baiklah..baiklah”. Wajah Ahmad langsung seperti menemukan harta karun yang amat berharga di negeri ini. Kami makan ikan bakar dengan sambelmangga muda. Ditemani sayur yang namanya Gangan Asam, sejenis sayur asem tapi dari daerahKutai, Kalimantan Timur. Lucunya di sayurnya juga ada potongan ikan dan singkongnya. Oiya, banyak produk ikan yang berasal dari Kalimantan juga enak lo! Misalnya amplang, yang dibuatmenggunakan daging ikan gabus atau belida. Ini sejenis krupuk ikan matang.
Bagaimana dengan Pak Malik dan Diana? Setelah diinterogasi oleh pihak yang berwajib, akhirnya diputuskan bahwa Diana tidak bersalah,dan dibebaskan. Ketika Diana bebas, ia langsung menghubungiku dan mengatakan hal tersebut. Diana rupanya hanya dijadikan saksi saja, karenabukan otak operasi dan kurang cukup bukti. Ditambah lagi Diana juga tidak berbelit-belit dancukup membantu polisi dalam kasus ini. “Aji, aku bebas bersyarat!” katanya sambil bersorak girang.
“Bebas bersyarat? Yang bener…?” aku bertanya untuk memastikan.
“Tentu saja, masak aku berbohong…,”jawabnya.“Terus Pak Malik gimana?” tanyaku lagi.
Ternyata setelah diputuskan olehpengadilan, Pak Malik menjadi tersangka dan dikenai hukuman penjara dan denda. Sangat disayangkan sekali, karena meskipun ia sudah menyewa pengacara bagus, tetapi bukti-bukti yang kemudian ditemukan belakangan oleh Keluarga Qaf, keterangan dan bukti dari Diana serta kesaksian dariku sangat memberatkan hukuman Pak Malik.
15 tahun kemudian…
“Bos, ini laporannya?” salah satu karyawan memberiku sebuah laporan. Tertulis “Laporan keuangan kantor tahun…,” aku langsung membuka lembaran isinya, yap, sepertinya biro penyelidik ini mendapat keuntungan yang besar. Aku menatap laporan keuangan itu, lalu menghela nafas panjang.
Aku telah menjadi bos, alias CEO dalam biro penyelidik swasta ini. Dua belas tahun yang lalu, Pak Mahmud menderita sakit. Lantas Pak Mahmud mengundurkan diri dan mengangkatku sebagai CEO, Chief Executive Officer dari biro penyelidik swasta ini. Sebenarnya selama menjadi pimpinan biropenyelidik ini, aku merasa bosan. Bagaimana tidak, sekarang tugasku lebih banyak di belakangmeja. Padahal aku sangat menyukai tugas dilapangan dalam memecahkan kasus.
Aku berkesimpulan bahwa aku memang harus memilih.“Joko, panggilkan Mang Pendi. Suruh ia menghadapku disini sekarang juga…,” aku menyuruh Joko, asisten kepercayaanku. Ia langsung keluar dari ruanganku dan mencari Mang Pendi. Aku merasa aku terlalu galak terhadap para karyawanku akhir-akhir ini. Baiklah, aku akan menjadi “bos baik”. Mang Pendi ini adalah office boy di kantorku.
“Ada apa, Pak?” tanya Mang Pendi kepadaku.
“Pendi, aku akan memberimu bonus, karenakamu telah bekerja selama 5 tahun disini dan kinerjamu sangat baik. Kamu juga aku berikan jatah cuti selama 1 bulan, karena aku dengar istrimu akan melahirkan, benar begitu bukan?” aku memberitahu Pendi sambil mengeluarkan dompet dari kantongku dan memberinya bonus.
“Iya bos, Alhamdulillah…,” jawab Pendi kegirangan. Setelah berpikir cukup lama dan menimbang semua baik buruknya, aku memutuskan untuk mengikuti kata hatiku. Aku memutuskan untuk mengadakan pertemuan dan akan memberikan sebuah pengumuman.“Pendi, panggilkan semua karyawan untuk berkumpul di meeting room…,” aku menyuruh Mang Pendi. “Baik Pak!” ia bergegas keluar dariruanganku.
—
“Assalamualaikum, selamat siang para karyawanku. Ada yang ingin saya beritahu kepada saudara-saudari sekalian…,” aku membuka pertemuan. “Performa biro penyelidik ini sangat baik. Kita juga memiliki banyak detektif yang cukup disegani dan berprestasi. Biro kita telah banyak membantu masyarakat dan pihak yang berwajib. Di biro ini kita melakukan regenerasi cukup baik. Beberapa dari kalian sangat pantas untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar dan menduduki jabatan yang lebih tinggi. Saya merasa sudah lama saya menjabat sebagai pimpinan di sini. Sudah seharusnya saya memberikan tempat ke yang lebih muda untuk menerima tongkat kepemimpinan di sini.
Aku terdiam sesaat, lalu melanjutkan dengan nada terharu, “Sudah saatnya saya untuk mengundurkan diri….” kataku sambil menghela nafas. Sunyi senyap, tak terdengar suara apapun. Karyawanku langsung berbisik–bisik kepada sesama rekannnya. Raut wajahnya semua tampak terkejut. “Tenang, biro penyelidik yang kita miliki bersama ini tidak akan ditutup. Saya memutuskan untuk mengangkat CEO baru kita, yakni Mas Joko…,” aku mengumumkan. Seketika semua karyawan bernafas lega, karena tadi sempat mengira biro penyelidik kami akan ditutup. “Saya memilihnya karena ia memiliki jiwa kepemimpinan dan perangai baik, berprestasi dalam banyak penyelesaian kasus, ahli dan cekatan dalam menyelesaikan suatu masalah di kantor ini…,”
Usai sudah jabatanku di biro penyelidik swasta ini. Kini, aku akan menyelidik kasus-kasus baru secara individual, alias secara sendiri, ataupun berpasangan dengan Ahmad. Inilah kisahku. Aku tidak tahu, apakah ini akan menjadi akhir, atau awal permulaan dari kehidupanku yang baru…
The end
That was a long journey. Cerita ini saya buat pada tahun 2019 bersama dengan klub menulis Cerivitas. Waktu itu setelah minggat dari dunia coding, saya mulai menulis secara rutin di blog All About Disil. Hingga akhirnya, ada sebuah projek akhir tahun dari Cerivitas yang bernama Tantangan Menulis #arungbuana, dimana anak akan diarahkan untuk membuat novel menjelajah dunia, dalam waktu sekitar 1 bulan.
Terbitlah buku ini. Ada bentuk fisiknya (bentuk novel bisa dipegang) berjumlah 3 buah, untuk koleksi pribadiku. Sampai sekarang masih tersimpan di lemari dan belum aku baca lagi, karena tbh it was bad. Tapi ya itu sebuah proses, menuju diri yang lebih baik lagi :)
Leave a Reply