“Kenapa pesawatnya delay, Aji?” tanya Fernando kepadaku dengan wajah kesal karena mengalami penundaan keberangkatan di Bandara Internasional Granada Spanyol. “Aku nggak tau, Fer…,” aku menjawab pertanyaannya sambil melihat prakiraan cuaca yang ada di handphoneku.
“Fer, jangan sampai lengah dalam mengawasi Diana, bisa-bisa dia kabur…,” aku menyuruh Fernando untuk tetap mengawasi Diana, sebab Diana itu pintar, jadi bisa saja ia menghilang entah kemana.
Setelah melihat prakiraan cuaca, ternyata sedang ada awan cumulonimbus di langit sekitar bandara ini. Awan cumulonimbus adalah salah satu awan sering menjadi ancaman bagi dunia penerbangan. Di dalam awan tersebut biasanya banyak badai, sehingga kadang-kadang pesawat mengalami turbulensi.
Setelah mengalami delay pesawat selama beberapa jam, akhirnya kami diterbangkan ke Paris, Prancis. Beberapa menit sebelum keberangkatan, para penumpang sempat terjadi sedikit keributan, karena mereka sudah bosan menunggu. Akhirnya kami diberangkatkan oleh maskapai.
Pesawat yang aku tumpangi sempat mengalami turbulensi, karena cuaca buruk. Sampai-sampai barang-barang yang berada didalam kabin pesawat berhamburan kesana-kemari. Fernando bahkan sempat terluka karena terpentok dengan dinding pesawat.
Sesampainya di Bandara Paris Charles de Gaulle Prancis, aku menuntun dan memegangi Fernando yang luka dan Diana yang lemas karena pusing serta membawa keduanya ke ruang perawatan di bandara. Sambil menunggu Fernando dirawat, aku menghubungi Mr. Albert, salah satu peneliti di Museum Louvre. Kami membuat janji untuk bertemu.
Beberapa jam berlalu. Setelah diberi pertolongan oleh petugas medis di bandara, Fernando sudah kembali bugar. Oiya, sedikit tentang bandara ini ya… Bandara ini dibuka pada tahun 1974, jadi bandara ini termasuk salah satu bandara yang sudah tua. Walaupun sudah lama beroperasi, bandara ini masih bagus dan bahkan Bandara Paris Charles de Gaulle ini adalah salah satu bandara terpadat di dunia.
Kami mencari penginapan. Setelah itu, aku membagi tugas dengan Fernando.
“Fer, sini, kita bagi tugas ya…, kamu jagain Diana, agar nggak kabur dari sini.” aku memanggil Fernando.
“Terus kamu ngapain?” Fernando bertanya sambil tetap mengawasi Diana.
“Aku? Aku ya pergi ke Museum Louvre untuk mencari manuskrip itu. Aku mau menemui Mr. Albert..,” dasar Fernando, tidak ingat dengan tujuanku datang ke sini.
Tidaklah susah untuk pergi ke Museum Louvre. Aku menaiki bis menuju Museum Louvre. Agar perjalanan tidak terlalu terasa, aku menikmati pemandangan Paris di sekitar kami.
Akhirnya aku sampai di Museum Louvre, Paris. Museum Louvre adalah museum seni yang terkenal di dunia yang paling banyak dikunjungi dan sebuah monumen bersejarah di dunia. Museum ini awalnya merupakan benteng yang dibangun pada abad ke-12 pada saat pemerintahan Raja Philip II. Museum ini dibuka pada 10 Agustus 1793 dengan memamerkan 537 lukisan. Sekarang museum ini memiliki koleksi yang berjumlah lebih dari 380,000 buah dan memamerkan 35,000 karya seni.
Bangunan ini sangat megah. Menurut informasi yang aku baca, tempat ini dibagi dalam 8 departemen kuratorial. Diantaranya adalah Koleksi Mesir Kuno, Koleksi Purbakala Timur Dekat, Koleksi Yunani dan Romawi, Koleksi Seni Pahat, Seni Islam, Seni Dekoratif, Cetakan dan Seni Gambar, dan Lukisan.
Salah satu yang terkenal adalah departemen lukisan. Koleksinya berjumlah sekitar 7.500 buah yang berasal dari abad ke-13 hingga tahun 1848. Lukisan Monalisa adalah salah satu koleksi di Museum Louvre ini.
Aku mencari ruangan yang dimaksud oleh peneliti Museum Louvre saat aku menghubungi mereka. Setelah menemukannya aku segera masuk ke ruangan tersebut. Ruangan tersebut ber-ac dan besar.
“Halo, saya Albert. Tadi di telepon Anda berbicara dengan saya. Saya adalah peneliti dari Museum Louvre yang meneliti manuskrip yang diberikan oleh Professor Javier dari Spanyol,” sambut Mr. Albert. Seketika aku kaget. Dia bisa berbahasa Indonesia. Memang benar, Mr. Albert memiliki darah Indonesia, namun lahir di Prancis. Rupanya ibunya adalah orang Surabaya, sedangkan ayahnya berkebangsaan Prancis. Pada saat menginjak usia 23 tahun, ia kembali ke Prancis karena mendapat tawaran kerja oleh Museum Louvre.
“Rupanya bapak bisa Bahasa Indonesia?” aku memastikan.
“Ya, tadi kan aku memakai Bahasa Indonesia saat menyapa anda…,” ujarnya.
Kami sempat bercanda. Setelah itu, kami masuk ke topik pembicaraan utama, yakni mengenai manuskrip kuno milik Keluarga Qaf.
“Bagaimana mengenai manuskrip kuno yang sudah diberikan Professor Javier di Spanyol…,” tanyaku.
“Sebagai salah satu peneliti di Museum Louvre, saya meminta maaf, karena manuskrip tersebut adalah manuskrip kuno yang langka, dan akan diambil oleh Museum Louvre untuk dijadikan sebagai salah satu koleksi disini.” jelasnya.
Seketika wajahku yang tadi bersemangat karena sudah menemukan manuskrip itu langsung menjadi murung. Wah urusan ini semakin runyam. Siapa yang menyimpan manuskrip sudah ditemukan, tetapi sulit untuk diambil kembali.
“Bagaimana bisa, manuskrip itu dimiliki oleh orang Indonesia, lalu diambil Museum Louvre?” aku mulai marah.
“Aji, ini adalah kebijakan yang berlaku di Museum Louvre. Sebetulnya hati nuraniku sangat ingin mengembalikan manuskrip tersebut kepada kamu, Ji. Maafkan saya…,” Albert memohon pengertian.
Aku berkeras untuk mendapatkan manuskrip itu dari Museum Louvre. Itu berarti, jika manuskrip itu dijadikan koleksi di Museum Louvre, apa yang akan dikatakan oleh Keluarga Qaf kepadaku? Bagaimana nasibku sebagai seorang detektif? Aku sadar bahwa untuk bernegosiasi dengan sebuah lembaga besar antar negara, tentu di luar kemampuanku.
Aku tidak boleh menyerah. Mula-mula aku melakukan negosiasi sendirian dengan Mr. Albert. Masih saja aku belum bisa mendapatkan manuskrip tersebut. Tiba-tiba ide datang kepada diriku.
Aku menghubungi Pak Mahmud dan Ichsan Qaf, untuk membantuku dalam melakukan negosiasi dengan Museum Louvre untuk mendapatkan manuskrip itu.
“Selamat siang, pak…,” aku memulai percakapanku dengan Pak Mahmud.
“Selamat siang juga, Ji… Ada apa? Apakah ada masalah…,” ia bertanya.
“Saya sudah berhasil menemukan manuskrip itu, ternyata manuskrip itu sedang diteliti Museum Louvre…,” aku menjawab.
“Wah, hebat kamu Ji! Lalu, apa masalahnya? Ayo pulang ke Indonesia… agar manuskrip itu bisa langsung diberikan kepada Keluarga Qaf…,” jawabnya dengan ekspresi senang.
“Sayangnya belum bisa Pak. Setelah diteliti oleh Museum Louvre, diketahui bahwa manuskrip itu adalah manuskrip kuno dan langka, sehingga akan menjadi koleksi di Museum Louvre…,” jelasku dengan suara datar.
“Lalu, bagaimana? Apakah kamu punya ide?” Pak Mahmud kembali bertanya sambil memikirkan ide-ide.
“Saya sudah punya ide Pak, saya perlu negosiator yang bisa membantuku, agar bisa bernegosiasi dengan pihak Museum Louvre untuk mendapatkan manuskrip itu.” jawabku.
“Baiklah, aku akan menghubungi Ichsan Qaf, kepala museum Keluarga Qaf di Samarinda untuk menyediakan seorang negosiator…,”
“Oke Pak, terima kasih…,”
“Sama-sama, nanti akan kuhubungi lagi jika aku sudah mendapatkan seorang negosiator. Untuk sekarang, tetaplah berada di Prancis…,”
Aku menunggu telepon dari Pak Mahmud. Tak lama kemudian, Pak Mahmud kembali menelponku.
“Halo, bagaimana Pak Mahmud… Apakah sudah menemukan seorang negosiator?”
“Tentu saja! Namanya adalah Pak Malik, ia adalah seorang negosiator handal yang berasal dari Keluarga Qaf. Ia akan membantumu dalam melakukan negosiasi dengan pihak Museum Louvre…,” jawabnya dengan bersemangat.
“Lalu di mana Pak Malik sekarang?’ aku menanyakan letak Pak Malik.
“Ia sedang bersiap menuju Prancis. Kamu masih di Museum Louvre?…,” tanya Pak Mahmud.
“Tentu saja aku masih di Museum Louvre pak… Memangnya kenapa?” aku menjawab dengan santai.
“Baiklah, kamu boleh pulang ke penginapan. Sebab, Pak Malik mungkin baru sampai besok pagi…,” jawabnya. Setelah itu ia menutup telponnya.
Keesokan harinya, Pak Mahmud memberitahuku bahwa Pak Malik telah sampai di Bandara Paris Charles de Gaulle. Aku segera menjemputnya di bandara dan mengajaknya menuju penginapanku, agar Fernando dan Diana juga ikut pergi ke Museum Louvre.
Saat sampai di penginapan, aku mempersilakan Pak Malik, masuk ke kamarku. Karena di penginapan kami menyewa dua kamar. Satu untuk Diana, yang pintu kamarnya kami pegang, supaya dia tidak melarikan diri. Satu kamar lagi untuk aku dan Fernando.
Saat Pak Malik di kamar Aji, masuklah Fernando dan Diana. Pak Malik terkejut melihat Diana, seolah-olah Pak Malik kenal dengan Diana begitu juga sebaliknya.
Secara tak sengaja Pak Malik berseru, “ Kamu kok bisa ada di sini?” sambil menunjukkan tangannya ke arah Diana. Diana pun terlihat kaget. Lantas aku bertanya.
“Apakah kalian berdua saling mengenal?” tanyaku kepada Pak Malik dan Diana. Wajah Pak Malik tampak gelagapan.
“Gadis ini kan yang selalu berusaha untuk menjatuhkan Keluarga Qaf… Aku kenal siapa dia, awas Aji, ia adalah orang yang jahat…,” kata Pak Malik memberitahuku.
“Ayo kita laporkan pada polisi, Aji!” seru Pak Malik lagi.
Mendengar tuduhan Pak Malik, Diana menjadi sangat marah terhadap Pak Malik.
“Justru orang ini yang merupakan otak pelakunya…,” teriak Diana sambil menunjuk dan memandang geram wajah Pak Malik.
“Coba saja lapor polisi kalau berani, itu malah semakin membuat tipu muslihatmu segera terbuka,” tantang Diana lagi.
“Aji, dengarkan aku. Maliklah yang menyuruhku untuk mengikutimu sejak awal perjalananmu mencari manuskrip Keluarga Qaf…,”kata Diana kepadaku.
“Awas kamu…,” geram Pak Malik kepada Diana.
Diana menjelaskan lagi, “Aji, Pak Malik adalah orang yang menyuruhku untuk mengikutimu sejak awal.”
“Sejak awal apa? Aku tidak percaya lagi dengan omongan yang kau katakan, kau pembohong.” aku menguji apakah ia benar-benar jujur ataukah ia hanya berpura-pura saja. Wajahnya menunjukkan ekspresi jujur.
“Tentu saja benar Aji…,” jawab Diana cepat.
“Aku punya buktinya,” kata Diana lagi
Dia lalu minta ijinku untuk mengambil handphonenya. Lantas Diana menunjukkan kepadaku, riwayat chat antara Diana dan Pak Malik yang tersimpan di hp Diana.
Tanggal dan riwayat di hp Diana itu ternyata sesuai dengan tanggal dan kegiatanku selama menyelidiki kasus hilangnya manuskrip ini.
Aku benar-benar terkejut, bagaimana bisa Pak Malik, orang kepercayaan Keluarga Qaf, berlaku seperti itu.
“Lalu mengapa Pak Malik ingin mengambil manuskrip itu?” aku bertanya dengan wajah keheranan.
“Pak Malik ingin menghilangkan manuskrip itu…,” jawab Diana dengan bersungguh-sungguh.
“Lantas kenapa ia ingin menghilangkan manuskrip itu? Apa manfaatnya bagi dia?” tanyaku.
“Pak Malik ingin menghilangkan manuskrip itu agar silsilah Keluarga Qaf tidak jelas lagi. Dengan hilangnya manuskrip itu, maka secara otomatis bukti bahwa Pak Malik bukan anggota sah Keluarga Qaf sudah tidak ada lagi…,” jelas Diana.
“Oiya, Keluarga Qaf akan mengadakan pertemuan besar sebentar lagi. Jika manuskrip itu hilang, maka Pak Malik berencana untuk mengklaim, bahwa ia adalah salah satu keturunan sah dalam Keluarga Qaf dan berhak untuk menjadi ahli waris…,” ujar Diana lagi.
Aku menyela, “ Tapi kan seharusnya keluarga Qaf tahu, riwayat keluarganya.”
“Masalahnya adalah anggota keluarga Qaf yang paling tua dan mengerti silsilah keluarga, sudah lama meninggal dunia. Sementara generasi yang baru tak terlalu berniat mencari tahu tentang riwayat keluarganya. Di sini Pak Malik melihat kesempatan untuk menarik keuntungan besar dari harta waris keluarga Qaf. Apalagi semua anggota keluarga Qaf, sudah menganggap Pak Malik sebagai saudara, meskipun sebenarnya tidak memiliki ikatan darah sama sekali,” jelas Diana lagi.
Gadis itu melanjutkan, “Selama ini Pak Malik kesulitan menghilangkan manuskrip itu, karena posisi manuskrip itu berada di ruang kurasi Museum Qaf. Tentu saja manuskrip itu sangat aman berada di sana. Setelah terjadinya kebakaran di museum, Pak Malik melihat kesempatan untuk melenyapkan manuskrip itu.”
Aku mengorek keterangan lebih dalam pada Diana. “Bagaimana cara Pak Malik melenyapkan manuskrip itu dari museum? Bukankah sebenarnya pengamanan museum cukup ketat?” tanyaku berlanjut.
“Pak Malik menyuruh orangnya untuk menjadi relawan dalam membantu menata ulang Museum Keluarga Qaf, tapi kemudian orang itu disuruh untuk menyingkirkan manuskrip itu dengan cara dimasukkan ke dalam kelompok barang-barang biasa, bukanlah ke kelompok benda-benda koleksi museum…,” ujar Diana.
“Bagaimana selanjutnya? Apa yang membuatmu mengikutiku hingga ke luar negeri?” aku kembali bertanya.
“Terjadi kesalahan. Menurut informasi yang didapatkan oleh Pak Malik, orang suruhan pak Malik tersebut terlambat untuk mengambil manuskrip kuno yang dikelompokkan olehnya dalam kelompok barang biasa itu. Saat ingin mengambil manuskrip yang sudah dikelompokkan ke benda biasa, ternyata kelompok benda biasa itu sudah dipindahkan oleh petugas museum. Sebagian dipakai lagi, sebagian dijual ke tukang loak. Saat suruhan Pak Malik gagal, rupanya dia mencari orang lain untuk melenyapkan manuskrip itu. Itu sebabnya Pak Malik menyuruhku untuk mencari manuskrip itu hingga ke luar negeri…,” jelas Diana panjang lebar.
Sambil mengawasi posisi Pak Malik, aku terus bertanya pada Diana,” Terus kenapa kamu mau menjadi orang suruhan Pak Malik?”
“Pak Malik itu jahat. Ia memprovokasiku untuk mengikuti permintaan dirinya…,” lanjut Diana lagi.
“Pak Malik sangat mengetahui, bahwa aku dan keluargaku sangat membenci keluarga Qaf. Dia menghubungiku dan bilang bahwa aku memiliki kesempatan untuk menghancurkan keluarga Qaf. Aku bisa membuat keluarga Qaf malu sekali dan nama baiknya hancur, dengan cara menghilangkan manuskrip itu. Keluarga Qaf juga bersedia membayar sangat mahal, demi manuskrip itu. Ini membuatku tertarik untuk mengikuti rencana Pak Malik. Aku tak menyangka, dia menggunakanku untuk menjadi kambing hitam, seandainya terjadi masalah seperti sekarang ini. Pak Malik benar-benar jahat,” jelas Diana dengan perasaan yang campur aduk.
Mendengar semua penjelasan Diana dan melihat bukti chat antara Pak Malik dan Diana, Pak Malik tidak mampu menyangkal lagi. Pak Malik berusaha untuk keluar dari kamar di penginapanku. Untungnya Fernando yang sejak tadi tak terdengar suaranya, ternyata cukup waspada. Dia berhasil mencegat Pak Malik untuk keluar kamar. Karena badan Fernando cukup besar, dengan mudah dia membuat Pak Malik yang bertubuh kecil tak berkutik.
Aku mencoba menghubungi Pak Mahmud, bosku, untuk mengatasi kejadian tak terduga ini. Oleh Pak Mahmud, aku disuruh menghubungi temannya, seorang komisaris polisi di Paris. Komisaris itu yang akhirnya datang dan mengamankan Pak Malik dan Diana.
Selain menelpon Pak Mahmud, aku juga menelpon Ichsan Qaf. Bukan main terkejutnya dia, mendengar semua informasi dariku. Hampir-hampir dia tak percaya, Pak Malik mampu bertindak seperti itu. Ichsan Qaf segera memutuskan untuk berangkat ke Paris, bersama asisten dan pengacaranya.
Setelah banyak kejadian yang menegangkan, akhirnya kami bisa menarik nafas sejenak. Meskipun kami masih harus menunggu, kapan manuskrip itu bisa didapat, karena negosiasi untuk mendapatkan manuskrip itu kembali, dari tangan Museum Louvre, tentu tidak mudah.
Sambil menunggu kedatangan Ichsan Qaf dan tim di Paris, aku mengajak Fernando untuk melihat-lihat suasana kota Paris.
“Eh, Fer, kenapa kita nggak jalan-jalan mengelilingi Prancis?” aku mengajaknya untuk jalan-jalan.
“Hmm, ayo! Tapi kita pergi kemana ya…” ia menyimpan handphonenya lantas mengikutiku yang sudah berdiri dan bersiap-siap.
“Hmm, kemana ya… Oiya, kita pergi ke Menara Eiffel aja!” aku mendapatkan ide yang cemerlang. Dengan senang hati kami menaiki transportasi menuju Menara Eiffel. Tidak susah untuk menemukan menara itu, karena menara itu terkenal.
Akhirnya kami sampai di salah satu menara yang paling tinggi di Paris, yakni Menara Eiffel. Menara Eiffel adalah salah satu menara paling tinggi di Prancis. Menara ini dibuat pada tahun 1888 dan selesai pada tahun 1889. Menara ini dinamai sesuai dengan nama perancangnya, Gustave Eiffel.
Menara ini memiliki tinggi sekitar 325 m (1063 kaki) sejak tahun 2000. Setelah berjalan-jalan, aku kembali ke Museum Louvre. Bagaimana kelanjutan kisah ini? Simak di seri selanjutnya ya, which is #9 penutup!
Leave a Reply