Design a site like this with WordPress.com
Get started

Detektif Aji #3 – Goes to Japan

Karena pengalamanku yang kurang menyenangkan soal akomodasi di India, akhirnya aku memutuskan mencari pelayanan akomodasi yang lebih baik di Jepang. Aku memilih untuk menaiki pesawat kelas eksekutif. Sangat nyaman, sampai-sampai aku tertidur saat berada di dalam pesawat ini. Tentu saja harga tiketnya mahal xD

Tanpa terasa tiba-tiba kru pesawat memberitahu saatnya aku untuk memasang sabuk pengaman. Aku juga diberitahu perbedaan zona waktu antara di Jepang dengan di India, serta diberitahu suhu di Tokyo. Aku segera memakai jaketku, serta merapikan barang bawaanku, dan juga memakai sabuk pengaman. Karena sedang ada turbulensi, aku mendarat terlambat ditengah badai salju.

Disini ada bermacam-macam transportasi umum, ada kereta api, taksi, kapal, dan sebagainya. Karena keretanya terkenal bagus, jadinya aku menaiki kereta bawah tanah yang bernama kereta shinkansen untuk menuju daerah Nagoya. Perjalanannya sangat nyaman. Semua orang fokus dengan urusannya masing-masing, keretanya juga bersih dan tertib. 

Stasiunnya bagus, semua jadwal yang tertera pas/tepat waktu. Setelah turun dari kereta, terdapat konser bawah tanah, sekilas seperti sedang mengamen, namun dengan peralatan dan pakaian yang lebih bagus daripada pengamen di Indonesia. Untuk keretanya sendiri, terlihat seperti komuter, namun dengan penampilan yang lebih bagus serta mempunyai kecepatan yang lebih tinggi. Loket pemesanan tiketnya juga bagus, semua orang antre dengan rapi. Oiya ya, wajar hal itu terjadi. Karena di Jepang pelajaran pertamanya di sekolah adalah pelajaran tingkah laku (cara mengantre, menghormati orang yang lebih tua, dan sebagainya).

Perjalananku menaiki kereta di sini mulus, tidak terlalu bising. Aku melihat pemandangan diluar, yang terlihat seperti kota metropolitan. Setelah sampai di Stasiun Nagoya, aku berjalan kaki menuju rumah Tuan Shoji, seperti yang tertera pada kartu nama yang diberi Mr. Bodhi. Setelah sampai dirumahnya, lagi-lagi aku hanya bertemu asistennya. Asisten Mr. Shoji mengatakan bahwa Mr. Shoji sedang pergi ke kuil Kitoguchitongu di Gunung Fuji. Menurut asistennya, Mr. Shoji adalah anggota dewan pengawas kuil-kuil kuno di Jepang.

ilustrasi gunung fuji di jepang

Aku berpikir dalam hati “WHAATT, Gunung Fuji??? Bagaimana aku menyusulnya?” Aku mencari informasi bagaimana bisa sampai di Gunung Fuji kepada asisten Mr. Shoji. Setelah tahu bagaimana caranya sampai ke Gunung Fuji dengan cepat,  aku memutuskan untuk mengikuti petunjuk yang diberikan oleh asisten Mr. Shoji.

Setelah keluar dari rumah Mr. Shoji, aku memutuskan untuk mencari penginapan di sekitar tempat Mr. Shoji tinggal. Aku menyimpan barang-barangku di sana.

Setelah itu aku pergi ke Gunung Fuji dengan menaiki transportasi umum, aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Beberapa jam berlalu tanpa ada petunjuk yang berarti, akhirnya aku menemukan Kuil Kitoguchihongu yang kucari. Aku bertanya kepada salah satu orang yang ada di kuil itu, yang kebetulan kenal dengan Mr. Shoji. 

Ternyata, Mr. Shoji sudah turun dari gunung! Lalu dia juga bilang, bahwa biasanya setelah pulang dari sini, ia pergi ke Kuil Itsukushima di Hiroshima. 

“Astaga, aku harus pergi ke Hiroshima lagi…?” seruku. Akhirnya aku terpaksa turun gunung untuk kembali ke Tokyo.

Karena kelelahan akibat perjalanan tadi, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah taman di Shinjuku, Tokyo. Saat melihat-lihat di sekitar, aku melihat sebuah tulisan Museum Samurai Kabukicho. “Wow Samurai!” Aku memang tertarik soal Samurai sejak kecil karena cerita ayahku tentang kehebatan dan keberanian seorang Samurai. Aku segera masuk ke dalamnya dan melihat sejarah Samurai di Jepang.

Kebetulan bersamaan denganku, ada rombongan turis dari Inggris yang menyewa seorang pemandu wisata. Aku mengikuti rombongan itu dan memerhatikan penjelasan yang diberikan oleh pemandu wisata kepada turis Inggris itu.

Pemandu Wisata menjelaskan, Samurai artinya bangsawan militer. Samurai ada pada zaman pertengahan. Mereka menggunakan banyak senjata, tapi yang paling terkenal adalah senjatanya yang bernama pedang Katana.

Untuk menjadi Samurai, pada saat usia 13 tahun, anak laki-laki menjalani sebuah upacara yang bernama Genpuku. Setelah menjalankannya, anak laki-laki tersebut mendapatkan wakizashi dan sebuah nama samurai dewasa. Ini berarti dia bisa memegang katana. Mereka mulai ada dari abad ke 12 dan berakhir pada tahun 1870. Populasi mereka pada tahun 1870 hanya tinggal 5% dari total penduduk. Revolusi Meiji mengubah peran mereka menjadi pengusaha atau wirausahawan.

Selain itu pemandu wisata juga menjelaskan tentang Restorasi Meiji. Restorasi Meiji adalah peristiwa pengembalian kekuasaan di Jepang kepada kaisar pada tahun 1868.

Akhirnya aku selesai mengitari Museum Samurai itu. Aku memutuskan beristirahat sambil membeli sushi di salah satu restoran di sini untuk makan siangku. 

Setelah cukup beristirahat, esok harinya aku memutuskan menuju daerah Hiroshima, tepatnya ke Kuil Itsukushima di Hatsukaichi, Hiroshima. Berhubung di Jepang sedang musim gugur, aku melihat dedaunan berguguran di sekitar kuil ini. Hampir seluruh permukaan tanah, tertutup oleh daun-daun berwarna kuning kecokelatan.

Sesampainya di kuil itu, aku bertanya pada salah satu orang yang ada di kuil ini. Lalu orang tersebut menunjukkan bahwa Mr. Shoji sedang berada di dekat gerbang kuil. Aku segera menemuinya.

“Excuse me, I’m Aji. Are you Mr Shoji?” aku memulai percakapan dengan Mr. Shoji dengan ekspresi mendatar.

“Of course, I’m Shoji. Why you come to me? Who are you?” ia bertanya sambil keheranan.

“I was a detective assigned to find the lost manuscripts from the Family Qaf Museum in Indonesia…,” aku menjelaskan maksud dan tujuan kedatanganku dengan jelas dan terperinci.

“Then what can i do for you?” ia kembali bertanya kepadaku dengan wajah penuh tanda tanya.

“I heard that you are given by Mr. Bodhi a manuscript. It is true?” aku mengonfirmasi dengan pandangan tajam menuju matanya.

“Yes…,” Mr. Shoji menjawab dengan singkat.

“It means that you have that ancient manuscript. Is correct?” aku kembali bertanya dengan raut wajah serius.

“Initially there, but I gave it to Mr. Yin, because he is my family …,” jawabnya.

“Where is Mr. Yin now?” tanyaku.

“He works at China. But if you want to meet him, here, I have his home address…,” sambil menulis alamat Mr. Yin, lantas memberikannya kepadaku. 

Tertera pada kertas yang diberikan Mr. Shoji tersebut bahwa rumah Mr. Yin terletak di Guangzhou, Cina. Setelah mengobrol dalam waktu yang agak lama dengan Mr. Shoji, ternyata dia adalah orang yang ramah. Aku diundang untuk menginap di rumahnya. Aku menerima tawaran Mr. Shoji untuk menginap di rumahnya. Kami sama-sama pulang ke Tokyo dengan kereta. Setelah sampai di Stasiun Tokyo, aku meminta izin kepada Mr. Shoji untuk mengambil barang-barangku yang berada di penginapan. Lalu aku memesan tiket pesawat menuju Cina serta mereservasi hotel di Guangzhou, Cina. Setelah itu barulah aku mendatangi rumah Mr. Shoji untuk menginap.

Rumah Mr. Shoji ukurannya tidak terlalu besar, namun nyaman dilihat dan nyaman untuk ditempati. Semua barang tersimpan dan tersusun secara rapi didalam lemari, tidak acak-acakan seperti kamarku. Aku dipersilahkan Mr. Shoji untuk menempati salah satu kamar kosong—yang seharusnya ditempati anaknya, namun anaknya sedang pergi keluar kota.

“Aji, stay here for a night,” Mr. Shoji menyuruhku menginap di rumahnya malam ini sambil menyalakan lampu di kamar yang akan ditempati olehku untuk semalam.

“Thank you so much for your kindness, Sir. I am so appreciate it …,” jawabku sambil menaruh barang-barangku dan merapikan kasur di sini.

“And if you want to eat, go to the kitchen and help me make onigiri…,” kata Mr. Shoji sambil berjalan keluar dari kamarku menuju dapur.

“Onigiri! I want to learn to make it!” aku tertarik untuk membuatnya. Lumayan, bisa belajar dari orang Jepang asli cara membuat onigiri.

Aku mengikuti Mr. Shoji ke dapur. Ia menyiapkan bahan-bahan dan alatnya. Ternyata cukup simpel, yang kita perlukan yaitu Nasi, Isi (Kali ini memakai telur dadar, dipotong kecil terlebih dahulu), Nori, dan garam.

Aku kira cara membuat Onigiri susah, ternyata mudah. Pertama, masak nasi hingga matang.

“After cooking the rice, what’s the next step?” tanyaku sambil mengeluarkan mangkok nasi dari penanak nasi.

“Next, wash your hands with warm water so that the rice does not easily stick in the hand while shaping it.” 

Mr. Shoji berkata tangan kita harus dicuci air dulu, supaya nasinya tidak mudah menempel di tangan.

“Okay. What next process?” aku bertanya langkah selanjutnya.

“Next take a small ball of rice that is still warm and then fill the center with the omelet that has been cut earlier” Dia mengatakannya sambil mengisi satu kepal nasi tersebut dengan telur dadar. Nasi yang dipakai untuk pembuatan onigiri bertekstur beda dengan nasi di Indonesia. Nasinya lebih mirip nasi ketan. Kami mengerjakannya bersama-sama. Aku memotong telur dadar, sementara Mr. Shoji memasukkannya dalam kepalan-kepalan nasi tersebut.

“What’s the next step? gluing the sheet of nori on the onigiri?”

“Sure, but before this, form the rice up into a triangle shape.” Mr. Shoji berkata bahwa setelah mengisi Onigiri dengan telur dadar, bentuklah onigiri tersebut menjadi segitiga. 

“Then gluing a sheet of nori…,”barulah menempelkan lembaran nori pada onigiri tersebut

“Then?”

“Then… Done! we have made onigiri!”

“Yay” Aku kegirangan, seperti merasa menjadi juru chef, padahal kan, menjadi juru chef itu susah.

Kami makan Onigiri itu. Mr. Shoji berkata, Onigiri bisa dibawa sebagai bekal untuk sekolah, bekerja, dan sebagainya.

“What? Here people work bring a lunch? Why?” Aku bertanya, apakah disini ketika orang-orang bekerja membawa makanan.

“Yes! The reason is if the food we make ourselves, definitely healthier…,” Jelasnya.

Aku kembali fokus kepada tujuanku disini. Yakni mencari manuskrip yang hilang. Untuk mempermudah mengenal Mr. Yin Aku mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepada Mr. Shoji.

“Sir…,”

“Yes, what?” jawabnya dengan raut wajah polos.

“Where is Mr. Yin works? How old is she?” aku mulai bertanya.

“Mr. Yin works at Guangzhou, China. He lives at the same place. About age, I don’t remember, but if I guess, he is about 35 years old.”

Setelah selesai mengobrol dengan Mr. Shoji, aku memasuki kamarku, dan mempersiapkan diri untuk tidur. 

Hoahhh…,” Aku terbangun dari tidurku. Semalam aku mengalami mimpi indah, aku merasa aku membuka warung onigiri dan menjadi chef yang handal. Semua orang membayarku dengan mahal. Haha, itu hanya mimpi. Aku bergegas untuk mandi dan sarapan.

Aku kembali membuat onigiri, dan kali ini, Mr. Shoji hanya mengawasiku. Aku memegang pisau dengan handal, “Seet, Seet…,” Suara pisau yang tajam. Pisau yang dimiliki oleh Mr. Shoji ini tajam sekali, sehingga sangat mudah memotong apapun. Pisauku yang berada di rumah tidak setajam ini, padahal pisauku sering diasah.

Mr. Shoji mempersilahkanku untuk membawa Onigiri tersebut sebagai bekal untuk pergi ke Cina. Setelah sarapan, aku pamit kepadanya dan memesan taksi menuju bandara, untuk pergi ke Cina. Bagaimana kelanjutannya? Simak terus kisah ini ya…

Advertisement

One response to “Detektif Aji #3 – Goes to Japan”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: