Sesuai dengan informasi dari ibu tukang loak, bahwa wisatawan yang membeli manuskrip itu berasal dari India. Untuk mempersiapkan diri mencari wisatawan itu, aku harus mencari tahu tentang Agra, India. Setelah dirasa cukup, aku mengurus surat-surat dan membeli tiket pesawat menuju India. Aku juga memesan penginapan di India.
Di hari keberangkatan, aku nyaris terlambat menuju ke bandara. Karena kelelahan mempersiapkan keberangkatan, aku ketiduran.
“Aji… Bangun…,” teriak Ahmad membangunkanku yang sedang tertidur pulas.
Ahmad menggedor pintu kamarku. Aku terbangun.
“Iya…Iya… Aku sudah bangun…,” sambil mengucek mataku.
“Eh kamu jadi berangkat gak sih? Biasanya kan aku yang terlambat, kok sekarang malah kamu yang ketiduran…,” omel Ahmad sambil masuk ke kamarku.
“Iya… Aku jadi berangkat… Aku kan kecapaian habis mengurus surat-surat kemarin…,” kataku sambil bangun dari tempat tidur dan mengambil handuk untuk segera mandi. Setelah aku melihat jam yang ada di kamarku, ternyata jam keberangkatanku masih lama. Ahmad tertawa cekikikan. Memang usil si Ahmad.
Di ruang makan, ibuku menyiapkan sarapan. Aku masih kesal dengan Ahmad yang tadi mengusiliku, macam emak-emak saja. Aku pergi ke dapur dan membantu ibuku menyiapkan makanan. Hari ini ibuku memasak sop ayam dengan bakwan. Aku membawakan mangkok dan sendok menuju meja makan. Saat membawa, terlintas aroma harumnya sop ayam buatan ibuku… Masakan ibuku adalah masakan yang paling enak sedunia menurutku.
“Ahmad, Aji.. Ayo ke sini…,” panggil ibuku yang sedang berada didapur.
“Ada apa ibu?’” jawab kami.
“Aji, tolong belikan garam 1 bungkus di warung Mbak Yeni ya…,” kata ibuku sambil mengambil uang di dompetnya.
“Kalo aku apa bu?” tanya Ahmad dengan wajah cemberut.
“Ahmad, bantu ibu menyiapkan meja makan ya…” jawab ibuku dengan muka yang manis, namun tak terbantahkan.
Kami segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ibu kami. Aku segera pergi ke warung Mbak Yeni, dengan menaiki motor butut yang aku punya.
“Beli apa, Aji?” tanya Mbak Yeni.
“Mbak, aku beli garam 1 bungkus…,” jawabku sambil mengeluarkan uang dari dompetku.
“Okee…, ini dia garamnya,” ujarnya sambil memberikanku sebungkus garam.
“Mas, kata ibu kamu, kamu mau berangkat ke Jakarta ya?” tanya Mbak Yeni sambil mencari uang kembalian.
“Eh.. Iya… saya ada tugas dari kantor…,” aku menjawab dengan ekspresi datar. Mbak Yeni ini memang suka kepo terhadap urusan orang lain.
Aku segera menaiki motorku dan kembali ke rumah. Ternyata Ahmad dan ibu sudah ada di meja makan. Aku segera menghampiri ibuku dan memberikan garamnya. Setelah itu aku dipersilahkan untuk duduk oleh ibu. Ahmad memanggilku dengan bisik-bisik. Namun, aku masih kesal kepadanya. Setelah berulang kali ia memanggil, akhirnya aku menoleh ke arahnya dan menjawab pertanyaannya.
“Ada apa?” tanyaku dengan ekspresi ketus.
“Aji, aku minta maaf ya…,” Ahmad meminta maaf. Sepertinya ia benar-benar menyesal. Yah, mungkin karena ia ingat kami sebentar lagi akan berpisah.
“Yaudah, gapapa, tapi lain kali jangan teriak-teriak gitu, aku kan baru bangun…,” ujarku sambil memeluknya. Akhirnya kami kembali rukun seperti biasa.
Sarapan berjalan dengan aman dan tenteram. Setelah sarapan selesai, aku segera mengambil tasku lantas bersiap, berangkat ke Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Balikpapan. Saat akan keluar rumah, ibuku tampak menangis, sementara ayah dan Ahmad tampak berkaca-kaca. Aku jadi merasa agak berat meninggalkan mereka. Tapi apa daya, aku sudah menerima tantangan ini dan harus kuselesaikan, apapun risikonya.
“Sampai jumpa lagi ya… Ji…, semoga kamu aman-aman aja disana. Hati-hati di jalan dan jaga diri baik-baik, Nak..,” kata ibu dan ayahku, sambil memelukku bergantian.
Aku berpesan pada Ahmad, “Jaga Ibu dan Bapak, ya Dek,” sambil memeluk Ahmad. Untuk menutupi rasa sedihku, aku segera menaiki taksi, menuju ke Bandara Sepinggan., Balikpapan.
Aku terbang menuju Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Cuacanya cukup cerah, sehingga tidak ada delay ataupun turbulensi dalam perjalananku menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Setelah sampai di Bandara Soekarno-Hatta, aku menunggu penerbangan menuju India. Kurang lebih 5 jam di bandara sampai aku melakukan check-in.
Akhirnya pesawatku berangkat menuju India. Perjalananku akan memakan waktu sekitar 8 jam, jadi aku memutuskan untuk beristirahat dulu. Tanpa terasa, pramugari memberitahu bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Internasional Chennai India. Aku segera merapikan jaketku dan memasang sabuk pengaman.
Setelah keluar dari bandara aku segera mencari transportasi menuju hotel di mana aku akan menginap. Setelah itu aku membereskan peralatan yang aku bawa, serta langsung tertidur pulas di hotel setelah penerbangan yang melelahkan.
Setelah itu aku menuju rumah wisatawan yang dimaksud oleh ibu tukang loak, yang bernama Mr. Rajiv Bodhi itu. Aku cukup kesulitan, dengan kondisi angkutan umum di Agra yang carut marut. Untungnya ada pegawai restoran tempat aku makan, yang cukup membantu mencarikan taksi. Atas saran si pegawai, aku menyewa saja, taksi itu seharian. Menurutnya itu jauh lebih ekonomis dan aman, daripada mencari kendaraan di pinggir jalan langsung. Mengingat tingkat kerawanan di Agra untuk turis individual, kurang begitu bersahabat, aku memutuskan mengikuti saran si pegawai restoran.
Sesampainya di rumah Mr. Bodhi, aku menanyakan keberadaan Mr. Rajiv Bodhi pada pelayannya. Ternyata Mr. Bodhi tidak berada di rumah, ia sedang pergi ke daerah Dharmapuri di dekat Taj Mahal untuk urusan bisnis.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, aku segera menyusul, pergi ke Taj Mahal untuk menemui Mr. Rajiv Bodhi dengan berbekal alamat dan nomor telepon Mr. Bodhi yang diberikan oleh pelayannya. Ternyata mencari Mr. Bodhi tidak mudah.
Sesampainya di area Taj Mahal, banyak sekali pengemis yang meminta uang. Sejak keluar dari mobil, aku selalu diikuti. Aku jadi serba salah, seperti memakan buah simalakama. Jika aku memberi mereka uang, jumlah orang yang harus aku beri terlalu banyak, bisa-bisa uangku habis. Jika aku tidak memberinya, kasihan, sebab mereka terlihat sangat miskin. Apalagi yang mengemis ini kebanyakan adalah anak-anak dan ibu-ibu yang terlihat lusuh.
Demi menghindari kerumunan pengemis itu, aku memutuskan untuk masuk ke bangunan Taj Mahal. Didepannya terdapat papan informasi mengenai Taj Mahal. Taj Mahal adalah sebuah bangunan yang dibangun Shah Jahan, sebagai bukti cinta kepada istrinya, Mumtaz Mahal. Istrinya tersebut dimakamkan didalam bangunan ini. Selain makam Mumtaz Mahal, Shah Jahan juga dimakamkan di sini. Untuk membuat bangunan mewah ini diperlukan waktu sekitar 22 tahun, dan baru selesai pada tahun 1983. Pada tahun 2007 bangunan ini ditetapkan oleh UNESCO keajaiban dunia.
Aku berhenti sejenak untuk membaca papan informasi tersebut. Aku pikir sekalian saja aku masuk ke bangunan yang merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia itu. Aku mencoba untuk masuk lebih ke dalam bangunan ini. Tidak seperti di foto-foto, dimana halaman Taj Mahal terlihat sepi, sesungguhnya keadaan asli malah sebaliknya. Hampir di setiap sudut, penuh dengan orang yang selfie, orang menjajakan souvenir, tukang foto, menyewakan baju tradisional India dan sebagainya. Bahkan ada yang menawarkan jasa untuk mengosongkan spot foto populer dengan cara mengusir orang yang ingin berfoto di spot yang sama. Kalau kita sudah selesai foto, mereka akan minta uang jasa.
Tempat ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara. Setelah melewati kerumunan orang tersebut, aku melihat denah lokasi Taj Mahal. Di depan bangunan ini (yang tadi banyak pengemis) ada kolam dan taman. Dan jika aku masuk lebih ke dalam, maka ada Taj Ganji, sebuah pusat perdagangan dan perhotelan, sayangnya saat ini yang dilestarikan tinggal sedikit, jadi aku tidak tertarik untuk mendatanginya.
Saat keluar di pintu keluar kawasan Taj Mahal, aku kembali bertemu dengan para pengemis lagi. Sepertinya jumlahnya makin banyak, dan wajah mereka membuatku iba. Mereka terus mengikutiku. Aku mencoba menghindarinya dan tidak sengaja masuk ke rombongan pawai tradisional di perkampungan di sekitar daerah itu. Rupanya sedang ada acara khusus. Para warga peserta pawai, memakai baju tradisional. Iring-iringan tersebut, diiringi musik India yang didominasi suara gendang dan sitar. Aku mencoba mencari jalan keluar dari rombongan pawai tersebut. Sulit, karena banyak warga yang menonton, sehingga aku harus permisi berulangkali, ketika melewati orang-orang tersebut. Apalagi banyak polisi India yang menjaga ketertiban pawai.
Setelah keluar dari rombongan tersebut, aku mencari mobil sewaanku, untuk selanjutnya pergi ke lokasi keberadaan Mr. Rajiv Bodhi. Tidak jauh tempatnya. Aku meneleponnya terlebih dahulu. Akhirnya aku berhasil menemukan Mr. Rajiv Bodhi di sebuah kantor di kawasan bisnis Dharmapuri. Aku memperkenalkan diri kepada Mr. Rajiv Bodhi.
“Are you Mr. Rajiv Bodhi?” aku memulai percakapanku kepadanya.
“Yes, who are you?” tanyanya dengan wajah keheranan.
“Let me introduce myself. I’m Aji. I’m a detective from Indonesia who are looking for an ancient manuscript that missing from Qaf Family museum in Indonesia…,” jelasku kepadanya yang terheran-heran melihat orang asing datang menemuinya.
“What can I do for you?” ia bertanya lagi.
“I heard that you bought a manuscript from a peddler in Indonesia…,” tanyaku.
“Yes, because the manuscript looks interesting, so I bought it. I don’t know if the manuscript belongs to a museum in Indonesia. I’m sorry…,” jawab Mr. Bodhi.
“It means that the manuscripts is on you now?” aku menebaknya.
“Previously the manuscript in me, but I give to the Mr. Shoji, a Japanese businessmen as a souvenir because he has helped me in a business…,” jelas Mr. Bodhi.
“Can you help me? Are you have a hints or something like that…,” kataku.
“Of course! I have his card name…,” ujarnya sambil mencari sesuatu di tasnya. Ia memberiku sebuah kartu nama.
Setelah mengamati kartu nama tersebut, orang Jepang tersebut bernama Shoji. Ia tinggal di Nagoya, Jepang. Aku menghubungi Tuan Shoji, sayangnya tidak diangkat.
Aku kembali ke penginapanku dan membereskan seluruh alat dan pakaianku. Oiya, di India, airnya terasa hangat, tidak segar seperti di Indonesia. Pelayanan hotel di sini tidak terlalu baik, mungkin karena aku memesan hotel yang harganya cukup ekonomis. Setelah menyelesaikan urusan administrasi serta memesan tiket pesawat, aku bersiap menuju Jepang. Bagaimana kelanjutannya? Ikuti terus kisah ini ya…
Leave a Reply