Design a site like this with WordPress.com
Get started

Detektif Aji #1 – Intro

Namaku Aji Fachreza. Tapi kalian cukup memanggilku Aji.  Namaku cukup pendek untuk ukuran orang Indonesia saat ini, yang rata-rata namanya terdiri dari 3 patah kata atau lebih. Aku dengar, orang zaman sekarang menamai anaknya sepanjang kereta api agar memudahkan ketika membuat paspor untuk Haji. Aku lahir di Jakarta. Menurut cerita ibuku, ketika usiaku menginjak empat tahun kami sekeluarga pindah ke Kota Samarinda, Kalimantan Timur mengikuti ayahku yang dipindahtugaskan ke sana. Aku adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Adikku bernama Ahmad. Ia suka sekali menggangguku, saat aku sedang melakukan apapun. Hobiku adalah berpetualang, menulis, dan membaca. Menurutku rasa ingin tahuku sangat tinggi, sehingga kadang-kadang aku suka menabrak aturan. Aku sebenarnya cukup sabar, namun jika ada orang yang melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang, aku suka kesal (siapa sih yang suka sama orang yang punya sikap begitu?)

gambar aji fachreza
Gambar diriku

Badanku pendek (dari genetik keturunan ayahku), kulitku cukup hitam untuk ukuran orang Indonesia. Rambutku cenderung lurus berombak, dan aku tidak menyukai rambut yang panjang, karena kadang-kadang menimbulkan gatal di leherku. Aku sebenarnya suka segala jenis makanan, tapi kadang-kadang aku suka merasakan sakit perut jika makan makanan terlalu pedas. Aku juga alergi pada produk susu sapi. Hal ini bahkan bisa menyebabkan aku sampai muntah-muntah.

Karena aku masih detektif junior di biro penyelidik swasta ini, aku jarang mendapatkan tugas sendirian. Biasanya aku bertugas mendampingi detektif senior dalam menangani sebuah kasus yang dilimpahkan oleh biro penyelidik kami. Ini mungkin karena aku masih muda dan kurang berpengalaman. Aku sangat menyukai profesi ini, karena sesuai dengan hobiku yang suka berpetualang dan selalu ingin tahu.


“Ayo cepat, nanti keburu macet lo…,” seruku menyuruh Ahmad untuk bergegas.

 “Kita kan harus segera berangkat…,” kataku lagi dengan nada sedikit kesal.

Masak sudah jam 8 pagi ia belum mandi. Alasannya sederhana. Ia tidak mau melewatkan acara kartun “Si Epen” di televisi. Padahal, episode di acara kartun tersebut, terus ditayangkan berulang-ulang. Sebenarnya aku juga menyukai kartun tersebut. Cuma, kok ya filmnya itu-itu saja, tidak ada episode baru, sehingga episode yang lama ditayangkan lagi dan lagi. Herannya Ahmad tidak pernah bosan dengan tayangan yang berulang itu. Mungkin karena di setiap episodenya, cerita Si Epen ini,  terasa cukup lucu dan konyol. Imajinasi pembuat film ini pasti luar biasa, sehingga meskipun sudah ditonton berulang, terasa tidak membosankan.

Sudah lama kami tidak pernah pergi hanya berdua saja. Ini karena kesibukan kami yang berbeda. Ahmad masih kuliah di Jurusan Sejarah di salah satu universitas di kota kami. Sementara aku sibuk dengan pekerjaanku yang tidak mengenal waktu. Maklumlah, sebagai detektif swasta, kadang kala jam kerjaku tidak menentu. Pernah suatu hari aku tidak ada kerjaan (nongkrong seharian), namun di hari yang lain bekerja hampir 20 jam.

Hari ini, sebenarnya aku dan Ahmad berencana akan pergi ke salah satu museum di Samarinda. Letaknya cukup jauh, sehingga kami harus berangkat pagi-pagi agar tidak terjebak macet di tengah jalan. Kondisi jalanan di Samarinda, makin hari semakin macet. Sudah mirip seperti kota-kota di Pulau Jawa. Pada awalnya kami ingin naik sepeda motor, namun karena hari sudah siang, alias sudah panas, jadi kami menggunakan transportasi mobil online, agar perjalanan kami terasa sejuk, tidak menghirup polusi karbon monoksida ataupun mendengarkan bunyi klakson di mana-mana saat lampu merah.

Karena kami terlambat berangkat dari rumah, akhirnya kami terjebak kemacetan di tengah jalan. Aku dan Ahmad sudah mulai bosan menunggu di dalam mobil. Akhirnya Ahmad memutuskan untuk memainkan game di HP, sementara aku mencoba memerhatikan lalu lalang kendaraan maupun pejalan kaki. Aku mempunyai banyak game di HP, namun menurutku tidak seru memainkannya di jalan. Kenapa? Karena kadang-kadang aku merasa pusing saat memainkannya di atas kendaraan. Yap, betul, aku memang orang jadul.

“Eh Aji, mabar yuk…,”Ahmad mengajakku main bareng.

Mabar apa..?,” Aku bertanya.

Mabar catur—,” kata Ahmad.

“Ah males ah, udah tau aku gak suka ngegame kalo di jalan,” Aku memotong perkataannya dan menjawab dengan ketus.

Ya, Ahmad suka mengajakku ngegame saat kami sedang jalan-jalan, padahal kan, tidak seru… Main kok di perjalanan. Menurut pendapatku, lebih enak kalau di perjalanan itu, kita menikmati pemandangan dan lingkungan yang kita lewati. Selain karena pusing, memandang kondisi di sepanjang perjalanan bisa mengasah ilmu dan kepekaan kita akan keadaan sekitar…Cieee. Main game itu menurutku, lebih enak jika kita sedang berada di rumah atau di ruangan yang tidak bergerak lainnya.

Ahmad cemberut kepadaku. Ia kesal, kenapa aku tidak mau diajak main. Aku mengalihkan pandanganku ke jalanan, melihat lalu-lintas yang sangat padat hari ini. Untungnya Pak Sopir melewati jalan alternatif, sehingga kami bisa lebih cepat sampai di museum, walaupun sudah banyak yang antre untuk masuk.

Setelah antri dalam kurun waktu yang cukup lama, akhirnya kami berhasil masuk museum. Sungguh sangat megah gedung ini. Museum ini adalah salah satu museum yang cukup terkenal di Kota Samarinda. Museum ini dimiliki oleh Keluarga Qaf, sebuah keluarga yang kaya raya dan terkenal di daerah ini. 

Museumnya memuat berbagai barang yang terkait dengan riwayat Kota Samarinda dan peranan leluhur Keluarga Qaf dalam perkembangan Kota Samarinda. Mereka turun temurun merupakan pedagang keturunan Arab, yang turut berperan dalam bidang ekonomi dan pendidikan di Samarinda. Aku menyewa pemandu wisata agar lebih mudah mengetahui asal-usul benda yang berada di museum ini. 

Tidak sia-sia aku menyewa pemandu wisata. Pemandu wisata tersebut namanya Mas Dayat, ia menjelaskan dengan cakap dan hafal semua informasi yang ada di museum ini. Sampailah aku pada bagian manuskrip. Kebetulan Ahmad sangat tertarik pada bidang manuskrip sejarah karena sesuai dengan jurusan kuliahnya. Manuskrip adalah tulisan tangan  yang telah ditulis oleh orang terdahulu, yang masih bertahan hingga saat ini. Di bagian ini ada kurang lebih belasan manuskrip yang dipajang. Namun, salah satu dari tempat manuskrip itu kosong, hanya menyisakan tag nama didepan kaca kosong.

“Kenapa manuskrip yang ini tidak ada?” tanya Ahmad kepada pemandu wisata.

Ia menjawab, “Sebenarnya tempat itu akan disiapkan untuk manuskrip silsilah Keluarga Qaf yang akan dipamerkan. Manuskrip itu, tadinya sedang dikurasi (menjalani proses persiapan dan pemeliharaan). Lalu hilang entah kemana. Ini terjadi karena di tempat ini beberapa hari yang lalu terjadi kebakaran di area kurasi museum. Polisi sedang melakukan penyelidikan di tempat tersebut,” kata Mas Dayat sambil menunjuk ke sebuah tempat dimana terdapat kerumunan orang. Sebagai detektif, rasa ingin tahu menggelitikku, tapi sayangnya aku tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan sesuka hati. Maka kami meneruskan perjalanan melihat-lihat koleksi museum yang lainnya. 

Keesokan harinya, aku kembali bekerja di kantor seperti biasa. Tiba-tiba bosku yang bernama Pak Mahmud datang.

“Aji, ikuti aku ke ruanganku,” perintah Pak Mahmud kepadaku.

“Ada apa Pak? Kenapa memanggilku?”, ujarku dengan wajah penuh tanda tanya. 

Pak Mahmud menjawab “Ada kasus baru, Ji. Sebuah museum kehilangan manuskrip kuno.”

“Kau tahu museum Keluarga Qaf, kan?” tanya Pak Mahmud.

“Oo, saya tahu, Pak. Baru kemarin, saya menemani adik saya ke sana, untuk refreshing, Pak” jawabku segera.

“Aku meminta kau untuk menyelidiki kasus manuskrip kuno yang hilang ini hingga tuntas. Seluruh peralatan dan biaya ditanggung kantor…,” instruksi Pak Mahmud.

Pak Mahmud lalu menceritakan detail kasus ini. Menurut Pak Mahmud, Keluarga Qaf, yang merupakan pemilik museum Qaf, sangat menginginkan manuskrip itu segera ditemukan. Mengapa demikian? Karena akan ada pertemuan akbar semua keluarga Qaf dari berbagai daerah yang diadakan tiap 5 tahun sekali. Menurut tradisi, semua keluarga akan meninjau ulang seluruh warisan keluarga mereka di museum, termasuk manuskrip itu yang sudah berusia lebih dari 4 abad. Manuskrip itu memuat semua silsilah nenek moyang mereka. Mereka tidak ingin dicap tidak mampu menjaga warisan keluarga besar. 

“Kenapa Pak Mahmud memberikan tugas ini kepada saya?” tanyaku kepada Pak Mahmud.

“Karena penyelidikan polisi, dirasa cukup lama, Keluarga Qaf memutuskan untuk menggunakan jasa biro penyelidikan kita juga, Ji. Gimana, kamu bersedia?” tanya Pak Mahmud lagi.

“Tetapi karena kebetulan semua detektif senior kita sedang ada tugas lain, maka kali ini Kau bertugas sendiri, Ji,” timpal Pak Mahmud lagi.

“Apa kamu sanggup? Ini kesempatan besar lho, untuk membuktikan kemampuanmu,” tanya Pak Mahmud sambil tersenyum.

Aku terkejut dan sangat senang ketika mendengar berita ini.

    “Wah, Pak… Saya senang sekali. Tentu saya siap melaksanakan tugas ini dengan sebaik-baiknya,” sahutku dengan cepat. 

    “Bagus, saya suka pemuda yang optimis dan menyukai tantangan,” puji Pak Mahmud.

    “Nanti masalah detailnya, kamu bisa menemui asisten saya, Pak Nono,” demikian Pak Mahmud mengakhiri penjelasannya.

Karena ini adalah tugasku yang pertama, aku berjanji akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Ini kepercayaan besar yang diberikan Pak Mahmud untukku. Aku tak menyangka tugas ini akan membawaku ke banyak tempat.

Setelah mempelajari segala sesuatu tentang Museum Keluarga Qaf dan tambahan detail teknis dari Pak Nono sekretaris Pak Mahmud, aku memutuskan untuk memulai pencarian. Titik awal pencarian tentulah dari titik dimana manuskrip itu terakhir terlihat.

Aku menemui pimpinan Museum Keluarga Qaf, yaitu Ichsan Qaf, untuk mencari informasi darinya. Dari beliau, aku disarankan untuk menemui satpam yang kebetulan bertugas pada hari dimana kebakaran itu terjadi. Ia memulainya dengan bertanya kepada satpam museum untuk mencari informasi. 

Aku memperkenalkan diri sambil menunjukkan identitasku pada satpam museum.

“Permisi, Saya Aji, saya detektif yang ditugaskan untuk mencari sebuah manuskrip yang hilang dari museum ini. Apakah Bapak pernah melihatnya…, ” Aku bertanya kepada satpam museum.

“Saya pernah melihat beberapa manuskrip disini, tapi saya tidak tahu manuskrip mana yang anda maksud. Namun, beberapa hari yang lalu sempat terjadi kebakaran dan menghilangkan beberapa benda di museum ini.” Jawab satpam tersebut.

“Lalu, bagaimana selanjutnya?” Aku kembali bertanya kepada satpam museum.

“Beberapa benda yang hilang berhasil ditemukan, sayangnya salah satu Manuskrip tidak dapat ditemukan. Itu kata para kurator disini. Tapi saya tidak tahu mana manuskrip yang hilang…,” ujarnya.

“Setelah kebakaran tersebut, apa yang terjadi?” tanyaku selanjutnya.

“Museum ini dibersihkan oleh petugas, namun karena banyak yang harus dibereskan, ada relawan yang ikut membantu membersihkan museum ini,” kata satpam.

“Dimana para petugas museum itu?” Aku bertanya dengan penuh keingintahuan.

Satpam menunjukkan tempat berkumpul para petugas museum. Aku bertanya kepada para petugas tersebut. 

“Permisi, saya Aji, saya detektif yang ditugaskan untuk mencari sebuah manuskrip yang hilang dari museum ini. Apakah saudara melihatnya? Pada saat itu apa yang saudara ketahui?” aku membuka pembicaraan.

“Kami tidak tahu apa-apa, yang jelas pada saat itu kami kekurangan tenaga untuk membereskan sisa-sisa kebakaran. Kemudian banyak orang yang ikut membantu membereskan museum.

“Siapa saja yang membantu?”

“Banyak, namun kami ingat, pada saat itu memang tidak semua orang mengerti mana barang koleksi dan mana yang bukan. Kemungkinan manuskrip itu disortir oleh orang yang tidak mengerti bahwa manuskrip itu adalah benda koleksi museum. Bisa jadi manuskrip itu disangka kertas biasa, sehingga dimasukkan oleh orang yang tidak mengerti ke kelompok barang biasa saja,” jelas salah satu dari petugas tersebut

“Lalu kemana kelompok barang-barang biasa tersebut dibawa?” tanyaku.

“Ada beberapa barang yang diletakkan di museum ini, tetapi ada beberapa yang dibawa ke tukang loak, terutama yang terlihat usang.”

“Dimanakah tukang loak tersebut?” Aku bertanya.

“Ia berada di pasar loak.” Jawab salah satu dari petugas tersebut.

Aku pergi ke pasar loak dan mencari tukang loak yang dimaksud. Setelah lama berkutat di pasar, dan bertanya-tanya kepada warga sekitar, akhirnya aku menemukan tukang loak yang dimaksud yang ternyata seorang perempuan paruh baya.

“Permisi, saya Aji, apakah benar ibu membeli beberapa barang bekas dari museum Keluarga Qaf?” tanyaku.

“Ya, memangnya ada apa nak?” jawab ibu itu.

“Saya ditugaskan untuk mencari sebuah manuskrip yang hilang dari museum Keluarga Qaf…,” jelasku.

“Manu..Mansur..Manuskrip? Apa itu Manuskrip?”

Aku menjelaskan panjang-lebar pengertian manuskrip kepada tukang loak tersebut. 

“Ya, aku memang membelinya dari orang yang katanya menjual barang bekas dari museum itu. Kukira itu hanya kertas biasa,” ujar ibu pedagang loak.

“Berarti manuskrip tersebut berada disini bu?” Seruku girang.

“Maaf nak, saat ini benda itu sudah tidak ada bersamaku,” jawabnya dengan wajah polos.

“Lalu dimana manuskrip itu sekarang?” tanyaku.

“Aku menjualnya pada seorang wisatawan dari India yang tertarik untuk membeli manuskrip itu dengan harga yang mahal. Ibu dengan senang hati menjualnya kepada orang India itu…,” jawabnya.

“Dijual? Ke wisatawan India?” seruku dengan kecewa.

“Oiya, ibu punya satu petunjuk. Waktu itu ibu melihat kartu namanya terjatuh…,” jelas ibu itu sambil mencari-cari sesuatu. Lalu ibu itu memberikan sebuah kartu nama kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih kepada ibu tukang loak itu. Ternyata kartu nama tersebut adalah kartu nama Mr. Rajiv Bodhi yang rumahnya berada di Kota Agra, India.

Mendapatkan fakta seperti ini, aku melapor kepada Pak Mahmud. Perintah Pak Mahmud untuk terus menelusuri manuskrip tersebut sampai menemukannya, walaupun harus pergi ke luar negeri, karena ini sesuai dengan permintaan Keluarga Qaf.

Aku mempersiapkan diri untuk segera pergi ke India. Aku juga memberitahu Ahmad dan keluargaku mengenai keberangkatanku ini, yang mungkin belum tahu kapan kembalinya ke Indonesia. 

Bagaimana kelanjutannya? Lihat di bagian ke-2 ya!

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: