Nyadar gak sih kalau di tv banyak iklan layanan masyarakat mengenai ajakan mencuci tangan dan menjaga jarak? Lama-lama juga muak nonton tv, isinya iklan begituan semua. Lagi pula, banyak penonton tv yang sudah beralih menjadi membaca informasi di hp. Kenapa iklan ini tidak berkesudahan? Dan mengapa iklan tersebut tidak efektif? Mari kita bahas di pos ini.
Di era pandemi COVID-19 ini, kita diminta untuk melakukan social distancing. Namun, ternyata masih saja banyak orang yang tidak mematuhi aturan ini, dengan berbagai macam alasan. Padahal, kampanye juga sudah dilakukan oleh pemerintah, dari tingkat presiden sampai tingkat kota dan kabupaten.
Jika kita memerhatikan lingkungan, ada banyak pejabat tingkat kecamatan dan tingkat kelurahan tidak melakukan kampanye tentang protokol kesehatan, dirinya pun tidak menerapkan protokol kesehatan. Ini sebetulnya sangat disayangkan.
Ada yang berspekulasi, COVID-19 ini buatan perusahaan. Ada juga yang bilang, ini buatan negara bintang merah. Itu beberapa alasan yang diberikan ketika ditanyai pendapat mengenai COVID-19. Anak-anak pun banyak yang menjawab seperti itu. Saya pun kaget mendengar alasan itu dilontarkan oleh anak-anak.
Sudah 8 bulan pandemi ini berlangsung. Sudah 8 bulan juga orang tua maupun anak-anak mengeluh kapan masuk sekolah, dengan alasan “mal saja sudah dibuka, kenapa sekolah tidak dibuka?”. Ada yang masuk sekolah, tapi ternyata juga komplain “Kenapa sih mesti selalu nurut protokol kesehatan? Yg di mal aja pada gak pake, ga kena corona tuh..”
Social distancing atau yang disebut jaga jarak adalah kegiatan yang sesuai dengan namanya, memberi jarak dengan orang lain ketika sedang melakukan kegiatan apapun. Jarak ini definisinya berbeda-beda tiap negara. Ada negara yang menggunakan jarak setengah meter, 1 meter, 2 meter dan sebagainya. Di Indonesia sendiri menurut saya tidak ada standarnya. Jadi menjaga jaraknya seenak setiap orang. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab “Yang penting kan jaga jarak”.
Serba salah sih, tidak bisa kita bilang bahwa mereka 100% salah. Perspektifnya mungkin berbeda. Lagipula, memang belum ada penyebaran corona di daerah tersebut. Apalagi jika kita melihat di pasar tradisional, sangat jauh dari aturan.
Bidang transportasi pun mengalami kesulitan di masa pandemi. Angkutan umum hanya boleh mengangkut 50% dari kapasitas. Peraturan ini mungkin ditaati penuh di daerah Jakarta. Tetapi, bagaimana dengan daerah lain? Dari pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa angkutan umum makin banyak membawa penumpang. Masuk akal juga, karena banyak pegawai yang tidak bisa pergi ke kantor karena terlalu banyak peraturan, dengan angkutan umum malah lebih mudah.
Polisi yang seharusnya menertibkan, tampaknya malah kompromi dengan supir angkutan umum. Tidak salah juga sih, karena kan polisi juga mempunyai nurani. Bayangkan saja, orang mau berangkat kerja pagi-pagi, disuruh untuk menunggu angkutan umum lainnya gara-gara tidak yang sebelumnya sudah penuh 50%. Hal ini malah akan membuat pegawai tersebut terkena sanksi karena terlambat, atau bahkan mengalami PHK.
Apa kesimpulannya? Dari artikel ini kita bisa tahu bahwa tidak semua orang bisa mengikuti protokol kesehatan. Ada yang karena tidak memungkinkan, ada juga karena malas/menganggap protokol kesehatan susah untuk diikuti. Pemerintah diharap untuk bisa lebih fleksibel, menyesuaikannya dengan kepentingan pegawai, dan menyiapkan solusi win to win. Masyarakat juga diharapkan untuk bisa mengikuti protokol kesehatan ketika mampu.
Terima kasih telah membaca pos ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua, kurang lebihnya mohon maaf. Sampai jumpa di pos lainnya.
Leave a Reply