Aku diberikan libur sekitar 2 minggu. Temanku mengeluh, karena ini adalah libur yang paling pendek selama sejarah bersekolah. Menurutku, libur kali ini pendek karena jatah hari liburnya sudah diambil sebelum lebaran. Jadi aku tidak heran mengapa libur setelah bagi rapot hanya sebentar.
Singkat cerita, tahun ajaran baru dimulai. Aku menyampul buku sesuai mata pelajaran yang ada, yakni 15 mata pelajaran. Setelah dihitung-hitung, ternyata aku kurang 5 buku dan sampulnya. Aku pergi ke toko alat tulis untuk mencari buku baru, juga sampulnya, karena sampul yang aku punya sudah terlihat kusam dan lama, bisa-bisa gampang robek.
Sesampainya di toko atk, aku bertemu dengan seorang anak dan ayahnya sedang memfotokopi kartu siswa nya. Sepertinya dia adalah siswa pondok pesantren yang letaknya lumayan jauh dari tempat aku tinggal.
Yang membuat aku heran adalah, dia memakai baju seragam sekolah, lengkap dengan sepatu dan tas. Apakah dia diizinkan untuk masuk sekolah? Atau, sekolah menyuruhnya masuk? Apalagi dia anak pondok pesantren, tinggal di sana setiap hari. Bukannya risiko penularan virus tinggi ya?
Sekolah umum aja belum dibuka, masa ponpes sudah? Itulah yang pertama kali terpikirkan di dalam benakku ketika melihat anak tersebut memakai seragam sekolah.
Tapi mari berpikir positif. Mungkin ponpes tersebut telah menyiapkan protokol kesehatan yang sangat ketat, sehingga risiko penularan bisa dikurangi. Jika seperti itu, aku setuju saja. Namun, aku melihat beberapa ponpes di luar sana mengadakan acara yang mengumpulkan banyak orang dalam satu tempat, dan tidak memakai masker. Agak mengerikan juga.
Masalahnya, jika satu saja dari santri di ponpes terinfeksi virus COVID-19, maka semua santri yang ada di ponpes tersebut harus di swab test, dan tentunya biayanya tidaklah murah. Lebih baik mencegah daripada mengobati, lagipula vaksin belum ditemukan sampai saat ini.
Untuk saat ini, lebih baik tetap di rumah, selagi bisa. Kecuali jika terpaksa, seperti orang tua yang harus mencari nafkah untuk keluarganya, dan tidak bisa dilakukan secara online (WFH).
Ketika aku dalam perjalanan pulang ke rumah, aku melihat sekelompok remaja yang sedang mabar di bale-bale. Mabar sih gapapa, tetapi kalau di dalam satu tempat kecil, itulah masalahnya. Bukannya kita bisa melakukan mabar jarak jauh? Memang sih, tidak ada sensasi nya, dan komunikasi di dalam game menjadi lebih sulit.
Tapi kan sekarang sedang wabah, sehingga memang kita terpaksa untuk stay at home. Justru menurutku, mabar jarak jauh lebih mengasyikkan, karena kita dituntut untuk menggunakan voice chat atau text chat di dalam game untuk berkomunikasi. Karena lebih ribet, sehingga setiap mengirim text chat, maka omongan yang kita sampaikan akan menjadi lebih efektif.
Sampai sini dulu ya ceritanya, nanti dilanjutkan di seri berikutnya. Terima kasih telah membaca, dan sampai jumpa!
Leave a Reply